Monday, September 22, 2014

Soekarno, Pidato, dan Kharisma

Siapa yang nggak kenal Ir. Soekarno? Beliau adalah bapak revolusi, pembaca teks proklamasi kemerdekaan, sekaligus presiden pertama Republik Indonesia. Seseorang yang sangat mashyur dengan kepemiminan dan kharismanya.

Nah, ini nih yang bikin saya tertarik, kharisma. Harta langka dan paling berharga yang harus dimiliki seorang pemimpin. Sayangnya, nggak semua orang punya great kharisma yang bisa sampe memengaruhi semua orang, membuat orang lain diam mendengarkan, memperhatikan, bahkan sampai terkesima. Rasa-rasanya, di zaman sekarang ini susah banget menemukan orang kayak gitu.

Cukup banyak dokumen-dokumen baik berupa teks, gambar, foto, sampe video yang menunjukkan betapa hebatnya kharisma yang dimiliki oleh beliau. Bahkan, pernah beliau berpidato dalam sebuah sidang PBB yang dihadiri oleh petinggi-petinggi banyak negara. Saat itu, semua orang diam memperhatikan, tertegun, hingga saat selesainya pidato semua hadirin berdiri bertepuk tangan. Sampai-sampai banyak peneliti yang mengungkapkan bahwa Soekarno adalah seorang orator terhebat sepanjang masa.

Nah, ini saya menemukan salah satu pidato Soekarno di internet. Ketika itu, tanggal 29 Juli 1956, Soekarno sedang berada di Semarang. Panjangnya sekitar dua halaman Ms. Word lebih ._.
“Saudara-saudara,
Djuga sadja pernah tjeritakan dinegara-negara Barat itu hal artinja manusia, hal artinja massa, massa.
Bahwa dunia ini dihidupi oleh manusia. Bahwa manusia didunia ini, Saudara-saudara, “basically” – pada dasar dan hakekatnja – adalah sama; tidak beda satu sama lain. Dan oleh karena itu manusia inilah jang harus diperhatikan. Bahwa massa inilah achirnja penentu sedjarah, “The Makers of History”. Bahwa massa inilah jang tak boleh diabaikan ~ dan bukan sadja massa jang hidup di Amerika, atau Canada, atau Italia, atau Djerman, atau Swiss, tetapi massa diseluruh dunia.
Sebagai tadi saja katakan: Bahwa “World Prosperity”, “World Emancipation”, “World Peace”, jaitu kekajaan, kesedjahteraan haruslah kekajaan dunia : bahwa emansipasi adalah harus emansipasi dunia; bahwa persaudaraan haruslah persaudaraan dunia ; bahwa perdamaian haruslah perdamaian dunia ; bahwa damai adalah harus perdamaian dunia, berdasarkan atas kekuatan massa ini.
Itu saja gambarkan, saja gambarkan dengan seterang-terangnja. Saja datang di Amerika,- terutama sekali di Amerika – Djerman dan lain-lain dengan membawa rombongan. Rombongan inipun selalu saja katakan : Lihat, lihat , lihat, lihat!! Aku jang diberi kewadjiban dan tugas untuk begini : Lihat, lihat, lihat!! – Aku membuat pidato-pidato, aku membuat press-interview, aku memberi penerangan-penerangan; aku jang berbuat, “Ini lho, ini lho Indonesia, ini lho Asia, ini lho Afrika!!”
Saudara-saudara dan rombongan : Buka mata, Buka mata! Buka otak! Buka telinga
Perhatikan, perhatikan keadaan! Perhatikan keadaan dan sedapat mungkin tjarilah peladjaran dari pada hal hal ini semuanja, agar supaja saudara saudara dapat mempergunakan itu dalam pekerdjaan raksasa kita membangun Negara dan Tanah Air.
Apa jang mereka perhatikan, Saudara-saudara? Jang mereka harus perhatikan, bahwa di negara-negara itu – terutama sekali di Amerika Serikat – apa jang saja katakan tempoh hari disini ” Hollandsdenken ” tidak ada.
“Hollands denken” itu apa? Saja bertanja kepada seorang Amerika. Apa “Hollands denken” artinja, berpikir secara Belanda itu apa? Djawabnja tepat Saudara-saudara “That is thinking penny-wise, proud, and foolish”, katanja.
“Thinking penny-wise, proud and foolish”. Amerika, orang Amerika berkata ini, “Thinking penny-wise” artinja Hitung……..satu sen……..satu sen……..lha ini nanti bisa djadi dua senapa `ndak?…….. satu sen……..satu sen……… “Thinking penny-wise”………”Proud” : congkak, congkak, “Foolish” : bodoh.
Oleh karena akhirnja merugikan dia punja diri sendirilah, kita itu, Saudara-saudara, 350 tahun dicekoki dengan “Hollands denken” itu. Saudara-saudara, kita 350 tahun ikut-ikut, lantas mendjadi orang jang berpikir “penny-wise, proud and foolish”
Jang tidak mempunjai “imagination”, tidak mempunjai konsepsi-konsepsi besar, tidak mempunjai keberanian – Padahal jang kita lihat di negara-negara lain itu, Saudara-saudara, bangsa bangsa jang mempunjai “imagination”, mempunjai fantasi-fantasi besar: mempunjai keberanian ; mempunjai kesediaan menghadapi risiko ; mempunjai dinamika.
Washington Monument, didirikan tahun 1884
George Washington Monument misalnja,
tugu nasional Washington di Washington, Saudara-saudara : Masja Allah!!! Itu bukan bikinan tahun ini ; dibikin sudah abad jang lalu, Saudara-saudara. Tingginja! Besarnja! Saja kagum arsiteknja jang mempunjai “imagination” itu, Saudara-saudara.

Bangsa jang tidak mempunjai : imagination” tidak bisa membikin Washington Monument. Bangsa jang tidak mempunjai “imagination”………ja, bikin tugu, ja “rongdepo”, Saudara-saudara. Tugu “rong depo” katanja sudah tinggi, sudah hebat.
“Pennj-wise” tidak ada, Saudara-saudara. Mereka mengerti bahwa kita – atau mereka – djikalau ingin mendjadi satu bangsa jang besar, ingin mendjadi bangsa jang mempunjai kehendak untuk bekerdja, perlu pula mempunjai “imagination”,: “imagination” hebat, Saudara-saudara.
Perlu djembatan? Ja, bikin djembatan……tetapi djangan djembatan jang selalu tiap tiap sepuluh meter dengan tjagak, Saudara-saudara, Ja , umpamanja kita di sungai Musi…….Tiga hari jang lalu saja ini ditempatnja itu lho Gubernur Sumatera Selatan – Pak Winarno di Palembang – Pak Winarno, hampir hampir saja kata dengan sombong, menundjukkan kepada saja “ini lho Pak! Djembatan ini sedang dibikin, djembatan jang melintasi Sungai Musi” – Saja diam sadja -“Sungai Ogan” – Saja diam sadja, sebab saja hitung-hitung tjagaknja itu. Lha wong bikin djembatan di Sungai Ogan sadja kok tjagak-tjagakan !!
Kalau bangsa dengan “imagination” zonder tjagak, Saudara-saudara !!
Tapi sini beton, tapi situ beton !! Satu djembatan, asal kapal besar bisa berlalu dibawah djembatan itu !! Dan saja melihat di San Fransisco misalnja, djembatan jang demikian itu ; djembatan jang pandjangnja empat kilometer, Saudara-saudara ; jang hanja beberapa tjagak sadja.
Satu djembatan jang tinggi dari permukaan air hingga limapuluhmeter; jang kapal jang terbesar bisa berlajar dibawah djembatan itu. Saja melihat di Annapolis, Saudara-saudara, satu djembatan jang lima kilometer lebih pandjangnja, “imagination”, “imagination” “imagination”!!! Tjiptaan besar!!!
Jembatan raksasa Golden Gate di San Francisco,sudah berdiri sejak tahun 1937
Kita jang dahulu bisa mentjiptakan tjandi-tjandi besar seperti Borobudur, dan Prambanan, terbuat dari batu jang sampai sekarang belum hancur ; kita telah mendjadi satu bangsa jang kecil djiwanja, Saudara-saudara!! Satu bangsa jang sedang ditjandra-tjengkalakan didalam tjandra-tjengkala djatuhnja Madjapahit, sirna ilang kertaning bumi!! Kertaning bumi hilang, sudah sirna sama sekali. Mendjadi satu bangsa jang kecil, satu bangsa tugu “rong depa”.
Candi raksasa Borobudur di Indonesia, sudah berdiri sejak abad 9 Masehi!
Saja tidak berkata berkata bahwa Grand Canyon tidak tjantik. Tapi saja berkata : Tiga danau di Flores lebih tjantik daripada Grand Canyon. Kita ini, Saudara-saudara, bahan tjukup : bahan ketjantikan, bahan kekajaan. Bahan kekajaan sebagai tadi saja katakan : “We have only scratched the surface ” – Kita baru `nggaruk diatasnja sadja.
Kekajaan alamnja, Masja Allah subhanallahu wa ta’ala, kekajaan alam. Saja ditanja : Ada besi ditanah-air Tuan? – Ada, sudah ketemu :belum digali. Ja, benar! Arang-batu ada, Nikel ada, Mangan ada, Uranium ada. Percajalah perkataan Pak Presiden. Kita mempunjai Uranium pula.
Kita kaja, kaja, kaja-raja, Saudara-saudara : Berdasarkan atas “imagination”, djiwa besar, lepaskan kita ini dari hal itu, Saudara-saudara.
Gali ! Bekerdja! Gali! Bekerdja! Dan kita adalah satu tanah air jang paling cantik di dunia.”


Bisa kita simpulkan, beliau berpidato di depan rakyat Indonesia mengenai mimpi beliau agar Indonesia menjadi negara yang besar, punya impian. Dalam pidato ini, beliau menjelaskan keadaan negara-negara maju di Barat yang menurut beliau dibangun di atas mimpi-mimpi pendahulunya, membandingkannya dengan kekayaan tak terhingga yang dimiliki Indonesia. Indonesia harus bisa memanfaatkan ke-kayaraya-an ragam alam dan budayanya. “Imagination!” Indonesia harus punya mimpi-mimpi besar agar tidak kalah dengan negara-negara maju di Barat.

Dari pidato di atas, bisa kita lihat bahwa dalam berpidato, Soekarno nggak main-main. Nggak cuma menumpahkan seluruh pendapat, gagasan, dan ide-ide cemerlangnya. Pidato beliau juga sarat akan pengetahuan dan informasi. Beliau kan sering jalan-jalan ke luar negeri, jadi tau banyak tentang keadaan di luar Indonesia. Selain itu, pidato beliau sering diselingi dengan bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dll. Nggak cuma bikin para pendengarnya terkesima, tergerak hatinya, dan terbakar semangatnya, tapi juga bertambah pengetahuannya sampai informasi tentang dunia internasional (termasuk saya yang baru baca pidato ini).


Wah, kapan ya saya bisa kayak gitu ._.?

Thursday, September 11, 2014

Yang terbaik dari seni lukis adalah ketika aku bisa melukis senyuman di wajahmu~



Tuesday, September 9, 2014

Selamatkan Luna!



Selamatkan Luna!
Karya M. Ramdayanu Muzakki
3600011

 “Ada apa ini? Apa yang sedang kupikirkan?!” Luna sangat heran.


“Kau kenapa? Kau seakan-akan mengerti apa yang sedang aku bicarakan,” ujar kucing berwarna coklat itu bingung, polos.


“Tentu saja aku mengerti apa yang sedang kau bicarakan, bodoh! Satu hal yang tak kumengerti, bagaimana bisa aku mendengarmu berbicara?!” Luna menjadi emosi.


“Tenanglah, gadis kecil,” kucing itu berusaha menenangkan.


“Argh... Bagaimana aku bisa tenang?! Sedang mimpi apa aku ini? Masa ada kucing bisa ngomong?!”


“Dari dulu, kucing juga udah bisa ngomong kali. Kamu aja yang nggak pernah ngerti cara bicara kita. Yang kau tahu hanya meang-meong aja.”


“Heh, kamu jangan ngelunjak ya! Memang sudah semestinya kucing mengeong, bukan ngomong kayak gini.”


“Hei hei, ada apa di sana?” tiba-tiba terdengar suara lirih dari langit-langit. Di sana hanya ada seekor cicak yang sedang mengadahkan pandangan ke bawah.


“Ini lagi! Kau ngapain ikut-ikutan bicara hah?! Diamlah kalian! Aku butuh menjernihkan pikiranku, nih!” Luna semakin bingung, semakin emosi.


“Wah, sepertinya kepalamu tadi membentur lantai cukup keras,” gumam si kucing.
***

Siapa yang tidak mengenal Luna? Ia sudah seperti bintang di SMA-nya. Prestasi yang dimilikinya menjulang setinggi langit. Selalu dapat ranking satu paralel, sering menjuarai lomba-lomba sampai tingkat nasional, dan pernah mengikuti pertukaran pelajar ke Australia. Karenanya, ia jadi anak kesayangan para guru.

Tak hanya prestasi di bidang akademik. Luna pun aktif di OSIS sebagai pengurus inti. Selain itu, bakat menyanyi yang ia miliki juga tersalurkan dengan baik. Ia sering manggung dalam banyak acara di sekolah-sekolah. Bak seorang artis, Luna banyak digemari oleh teman-temannya. Bahkan, tak sedikit anak cowok yang mengincarnya.

Walaupun begitu, semua kecemerlangannya tidak membuat Luna menjadi sombong. Ia tetap rendah hati dan mau berteman dengan siapa saja. Sejatinya, ia memang anak yang periang, supel, dan mudah bergaul.

Suatu hari, Luna mengalami sebuah peristiwa yang tak akan pernah lupakan selama hidupnya. Peristiwa paling ganjil dalam hidupnya. Peristiwa yang mengubah hidupnya. Saat di mana ia pertama kali bisa memahami percakapan hewan.

Saat itu, Luna sedang sendirian di ruangan OSIS. Terik matahari yang menghajar siang kala itu membuat Luna merasa kehausan. Ketika hendak mengambil air dari dispenser, seekor kucing berwarna coklat menghampirinya. Kucing itu tidak asing bagi Luna dan anak OSIS lainnya. Itu adalah kucing yang sudah biasa mondar-mandir di sekitar sekolah, terutama kantin dan ruang OSIS. Bahkan, tak jarang Luna bermain-main dengan kucing coklat tersebut.

Namun, raut wajah kucing itu tak seperti biasanya, terlihat buas dan lapar. Tiba-tiba, kucing itu berlari ke arah Luna dengan ganas. Luna kaget dan ketakutan. Khawatir jika kucing betina itu terkena rabies atau penyakit sejenis, Luna spontan berlari menjauh.

BRUK!

Luna terpeleset dan terjatuh, pingsan. Tak ada orang yang membantunya. Saat itu, sekolah sangat sepi karena sudah sore. Beberapa menit kemudian, Luna terbangun dengan sendirinya, dan mendapati kucing coklat tadi berbicara padanya!

Setelah beberapa saat bercakap-cakap dengan si kucing dan seekor cicak, Luna pun menyadari bahwa kini dirinya bisa memahami pembicaraan semua hewan. Ia mulai mendengarkan obrolan para burung dan sayup-sayup teriakan para semut. Ini jelas terasa sangat aneh bagi Luna. Hidupnya kini benar-benar terasa ramai, penuh dengan percakapan binatang.

“Kenapa kau tadi tiba-tiba mengejarku?” protes Luna.

“Aku hanya ingin menggodamu, kawan. Masa nggak boleh, sih?” jawab si kucing dengan santai.

“Hadeh... Dasar kau ini, ya!”
***


Tentu saja Luna merahasiakan semua ini. Ia tak ingin orang lain gempar karena kejadian yang ia alami. Ia tak ingin publik tahu mengenai kemampuan anehnya ini.

Namun, sesuatu yang unik pasti menarik perhatian orang. Tak terkecuali yang terjadi pada Luna. Bagaikan sumber daya yang langka, ternyata ada sekelompok orang yang mengincar kemampuannya. Tanpa Luna sadari, ia sedang dalam bahaya.

Suatu siang, Luna sedang berada di rumahnya. Ia sedang dengan bermain dengan kucing betina coklat yang tempo hari berada di sekolahnya. Ya, sejak insiden itu, kucing tersebut dibawa pulang oleh Luna dan resmi menjadi peliharaannya. Bukan, lebih tepatnya, kucing itu sudah menjadi temannya. Kucing itu ia bawa ke sekolah tiap pagi dan ia bawa pulang ke rumah tiap sore. Kucing itu juga ia beri nama Lina. Luna dan Lina, nampak seperti pasangan sahabat yang serasi. Walaupun jauh berbeda, namun itu tak jadi soal bagi mereka berdua.

“Luna, ada yang ingin bertemu denganmu, Nak,” tiba-tiba ibu masuk kamar Luna.

“Siapa, Bu?”

“Entahlah, ibu juga belum mengenal mereka. Tampang mereka mengerikan. Tapi salah satunya, ada yang seperti peneliti-peneliti gitu, yang memakai jas putih.”

Dengan diikuti Lina, Luna pun turun ke lantai bawah. Di ruang tamu, ia melihat tiga orang lelaki yang tidak di kenalnya. Benar kata ibu, salah satu dari mereka berkacamata dan mengenakan jas peneliti. Dua orang lainnya berbadan lebih besar dan berpakaian gelap.

“Maaf, anda siapa ya? Saya tidak ingat kalau sudah membuat janji dengan siapa pun siang ini,” Luna berusaha sopan.

“Maaf jika kedatangan kami mengganggumu. Tapi kami memiliki alasan untuk itu,” ujar lelaki berjas putih.

“Ada perlu apa?”

“Kami adalah peneliti yang bekerja untuk pemerintah. Spesifikasi tugas kami adalah meneliti hal-hal ganjil yang terjadi pada manusia. Sepertinya saya tidak perlu berpanjang lebar lagi, nona. Kami ingin mengetahui lebih lanjut mengenai kemampuan unikmu. Apa lagi kalau bukan berbicara dengan hewan,” pria yang mengaku peneliti itu menjelaskan.

Luna jelas kaget. Bukankah ia sudah merahasiakan kemampuannya ini dari siapa pun? Bahkan orang tuanya pun tak tahu kalau ia bisa berbicara dengan hewan. Lalu, bagaimana orang-orang asing ini bisa tahu?

Luna terdiam sejenak.

“Kami hanya ingin mengetahui sedikit lebih banyak tentang dirimu. Kami akan membawamu ke laboraturium kami. Kau tak perlu takut. Semua ini akan mudah jika kau menuruti kata-kataku,” kata pria tadi.

“Aku tak mengerti apa yang sedang kau bicarakan, Tuan,” Luna berpura-pura. “Dan jelas saya menolak jika kau akan membawaku pergi.”

“Ah, andai saja kau bisa diajak bekerjasama,” ujar pria berkacamata itu.

Dua pria besar di belakangnya mendekati Luna. Tak sempat Luna berteriak minta tolong, dua pria itu sudah meringkusnya, membuat Luna tak sadar dengan obat bius. Semua ini sudah seperti penculikan yang direncanakan. Luna pun dibawa kabur oleh tiga orang asing itu.

Lina berusaha mengeong sekeras mungkin. Ibu pun segera datang ke ruang tamu. Namun sayang, semua sudah terlambat.

“Apa yang terjadi, Lina? Mana Luna?” ibu panik seketika.

Lina hanya mengeong.

“Ah, andaikan aku bisa mengerti apa yang kau bicarakan, kucing manis. Aduh, aku harus menelpon polisi!” ibu tetap berusaha tenang.
***

Sebenarnya, percuma saja menghubungi polisi. Sindikat penelitian itu sudah bersekongkol dengan banyak pihak. Kalaupun diminta mencarikan, paling-paling para polisi hanya berpura-pura. Pada akhirnya, mereka akan berkata bahwa mereka tak bisa menemukan Luna serta meminta keluarganya untuk tenang dan bersabar.

Hari sudah gelap. Seharian ini Luna belum ditemukan. Semua orang di rumah gelisah, berharap Luna segera ditemukan. Tak terkecuali Lina. Ia sangat mengkhawatirkan Luna, sahabatnya itu.

Lina merasa bahwa dirinya tak bisa diam saja. Ia bertekad ingin menyelamatkan Luna. Menurutnya, mustahil jika harus mengandalkan manusia-manusia itu. Ia akan mengusahakannya bersama teman-teman hewannya.

Esoknya, pagi-pagi sekali, Lina sudah berangkat keluar rumah untuk mengumpulkan kekuatan. Ya, kekuatan armada tempur untuk menyelamatkan Luna.

Hewan pertama yang ia datangi adalah seekor anjing tua yang tinggal di sebelah sungai. Dulunya, ia adalah anjing pelacak milik kepolisian nasional. Anjing itu kabur dari pekerjaannya dan sekarang tinggal di pinggir sungai. Ia tak suka dikekang dan bekerja untuk manusia. Ia lebih senang hidup bebas seperti sekarang.

“Baiklah, aku bersedia. Lagipula, sejak kemarin belum hujan kan? Tentu akan lebih mudah untuk menemukan gadis itu,” jawab anjing itu ketika Lina memohon padanya.

Roger, nama anjing itu. Kunci utama dari pencarian ini sudah ada di tangan. Lina masih mencari banyak armada lagi. Pasukan burung, tikus-tikus got, para musang, tupai, dan masih banyak lagi.
Siangnya, para hewan ini sudah berangkat mencari letak keberadaan Luna. Tidak akan ada manusia yang menyadari gerakan ini. Mereka tak peduli karena terlalu sibuk dengan urusan mereka.
***

Pintu ruangan besar itu terbuka, menghasilkan suara yang tidak terlalu enak didengar.

“Kami akan memulainya hari ini, Luna,” ujar pria berjas putih. Ia menutup pintu kembali, menguncinya.

“Hei, lepaskan aku! Sudah aku bilang kan, aku tak tahu menahu tentang kemampuan yang kemarin kau bicarakan. Cepat lepaskan!” teriak Luna dari dalam kurungan besi yang tidak terlalu besar.

“Tak usah berbohong. Sudah cukup lama kami mengawasimu, Luna,” pria itu mendekat.

“Tolong...! Siapa pun tolong aku. Kumohon!” Luna berteriak. Percuma, tak ada siapa pun di sana. Hanya mereka berdua.

BRAK!

Pintu kembali terbuka dengan kasar. Segerombolan hewan masuk ke dalam ruangan itu. Ternyata, Lina berhasil mengumpulkan bala bantuan. Tidak tanggung-tanggung, Lina juga meminta tolong kepada beruang yang ia temui dalam perjalanan. Beruang itulah yang tadi mendobrak pintu.

“Lina, apa itu kau? Lina...!” Luna berteriak kesenangan.

“Luna, aku datang menjemputmu!” Lina mengeong kencang.

Hewan-hewan yang sangat banyak jumlahnya dan beragam jenisnya terus berdatangan memasuki ruangan itu.

“Apa yang terjadi? Ada apa di luar sana?” pria berjas putih berbicara kepada rekannya menggunakan walkie talkie, panik.

“Segerombolan hewan tiba-tiba datang, Pak. Mereka seakan-akan memaksa ingin masuk. Kami tak bisa menghentikan mereka. Monyet-monyet ini sangat merepotkan,” ujar orang di sana.

Tiba-tiba, seekor monyet datang membawa serenceng kunci. Dengan gesit, monyet itu menerobos masuk dan memberikannya kepada Luna. Setelah mencoba-coba beberapa kali, Luna pun berhasil membebaskan diri dari kurungan besi. Sementara itu, pria berjas putih sedang disibukkan dengan para hewan yang menahannya.

“Terimakasih, Lina. Wow, kau yang melakukan semua ini? Kau memang hebat, kawan!” Luna memeluk Lina erat-erat.

“Senang bisa membantumu, Luna,” ujar Lina.

“Mau kemana kau, Lina?” masih tak bisa bergerak, pria berjas putih berteriak. “Urusan kita belum selesai!”

“Cukup. Aku tak akan berurusan denganmu lagi. Kuberitahu satu hal padamu: kami bisa saja menghancurkan laboraturium ini sekarang juga. Armada kami sangat banyak! Tapi kurasa itu tidak perlu. Kecuali jika kau berani mendatangiku lagi, aku tak akan sungkan-sungkan. Camkan itu, jelek!” kata Luna.
***

Satu bulan berlalu sejak kejadian itu. Tentu saja, saat itu Luna pulang dengan selamat. Akhirnya, ia pun menceritakan semuanya kepada orang tuanya. Ya, hanya kedua orang tuanya.

Dengan mempertimbangkan banyak hal, akhirnya mereka sekeluarga, termasuk Lina tentunya, pindah ke Australia. Luna sangat cepat beradaptasi. Sekarang, ia sudah memiliki banyak teman, baik manusia maupun hewan-hewan di sana.

Kemampuan itu akan tetap ia miliki hingga dewasa nanti. Memang tidak mudah jika kita memiliki suatu kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Namun, hal tersebut akan menjadi manfaat jika kita dapat menggunakannya dengan baik.