Thursday, January 24, 2019

Motor Firda dan Pantai Pertama Astonjog

Gue bakal memulai tulisan kali ini dengan cerita yang amat sangat gak penting. Ini semua tentang motor Firda yang udah gue bawa selama hampir tiga minggu belakangan ini. Lho, bagaimana bisa?


Ceritanya bermula sejak sebelum libur semester. Firda kan berangkat KKN sejak Desember kemaren sampe Februari besok. Di samping itu, liburan ini gue pengen lebih banyak menghabiskan waktu di Jogja karena beberapa hal. Nah, pas banget kan. Gue melihat peluang buat pinjem motor Firda demi nasib akomodasi yang lebih bermartabat selama menghabiskan masa libur di Jogja. Gue pun izin pinjem motor Firda sebelum doi berangkat KKN.

Ternyata, motornya udah ditag duluan sama Oom. Terjadilah sebuah negosiasi yang sengit dan berdarah-darah antara gue, Firda, dan Oom (lebay ah wkwk). Singkat cerita, gue sama Oom sepakat buat gantian bawa motor Firda. Oom yang bawa motornya duluan, terus motor itu ditransfer ke gue selama Oom pulkam.

Momen tercapainya resolusi setelah negosiasi sengit antara pihak gue, Firda, dan Oom. Azzam sebagai notulen.

Kenapa cuma urusan pinjam-meminjam motor Firda aja sampe gue ceritain di sini? Itu semua karena motor Firda bukanlah motor sembarangan buat gue.

Gue kuliah nggak dibawain motor. Sebagai mahasiswa tunakendaraanbermotor, gue biasanya nebeng atau pinjem motor temen kalo mau menempuh perjalanan jauh. Gue udah pernah pinjem berbagai macam motor dari berbagai jenis temen yang gue punya di Jogja. Tapi, di antara semua motor yang pernah gue pinjem dan tebengin, motor matic hitam berplat B milik Firda adalah yang paling spesial buat gue.

Interaksi pertama gue sama motor Firda, sekaligus momen paling berkesan gue sama itu motor, adalah ketika pertama kali Astonic Jogja (Astonjog) main ke pantai. Peristiwa ini udah terjadi lebih dari tiga tahun yang lalu. Waktu itu, kami masih baru semester pertama kuliah. Gue dan beberapa anak Astonjog meresahkan suatu hal. Masa udah beberapa bulan di Jogja, tapi belom pernah main ke destinasi wisata yang jauh. Akhirnya, kami berwacana buat main ke pantai bareng.

Suatu hari di pertengahan November 2015, kami bertekad untuk merealisasikan wacana tersebut. Tujuan kami adalah kawasan wisata pantai di Gunung Kidul. Squad yang berangkat kali ini ada gue, Ikbar, Kukun, Mufid, Firda, Cahya, Uun, dan Farida. Jujur aja, waktu itu gue bener-bener excited karena ini adalah pengalaman pertama gue motoran jauh ke arah pantai. Dan gue kebagian bawa motor Firda, sebuah motor matic hitam berplat B.

Kami pun berangkat. Kukun sebagai pemimpin rombongan jalan paling depan, sedangkan gue paling belakang. Kami sempat mampir ke masjid buat sholat Dhuhur. Setelah menempuh sekitar 2 jam perjalanan, kami pun sampai di Pantai Kukup. Selain kami, ada beberapa pengunjung lain yang juga sedang main di sana. Tapi tidak terlalu ramai karena bukan sedang musim liburan.


Setelah menemukan sebuah gubuk yang pw buat berteduh dan naruh barang, para cowok langsung berhamburan ke laut. Kami jelas tidak bisa menahan hasrat untuk basah-basahan mengingat ini adalah trip pertama kami ke pantai Gunung Kidul. Bodo amat yang akhwat kita tinggalin di gubuk.

Karena brutalnya hasrat para cowok untuk menjelajah, kami berjalan menyusuri bibir pantai ke arah barat, melalui tebing dan karang-karang. Lalu, kami menemukan sebuah pantai kecil yang amat sangat sepi. Rasanya seperti pantai privat karena di sana benar-benar gaada orang selain gue, Ikbar, Kukun, dan Mufid. Pemandangannya juga lebih oke. Kami pun bermain dengan sangat bebas di sana.


Ya Allah, waktu itu kayak bahagia banget ya :')

Gue sampai lupa kalo ada para akhwat dalam rombongan ini. Sampai sebuah insiden bodoh terjadi.

Para akhwat ternyata menyusul kami ke kawasan ini. Mereka berjalan melalui tebing dan karang sambil menenteng tas milik rombongan. Mereka teriak-teriak karena kebasahan kena ombak. Kami para cowok, yang pekanya agak telat, menghampiri mereka untuk misi penyelamatan.

Setelah insiden yang memacu adrenalin tadi, kami pun cekikian, menertawakan kebodohan demi kebodohan. Bagaimana tiba-tiba ombak besar menyapu bibir pantai di saat para akhwat sedang berusaha menyusul kami ke kawasan pantai ini. Di tengah insiden tadi, ada cerita kocak tentang Uun yang lebih mementingkan menyelamatkan pop mie daripada tas yang ia bawa. Alhasil, beberapa tas yang tidak beruntung jadi basah kena ombak.


Tapi yang jelas, sekarang semuanya udah kepalang basah. Kami pun lanjut menikmati pantai, menari bersama ombak dan merasakan lembutnya pasir. Kami sempat mendaki bukit karang untuk berjemur, mengingat hampir semua anak gaada yang bawa baju salin. Setelah baju-baju kami agak kering, kami pun berjalan ke arah parkiran dan mampir mushola untuk sholat Ashar. Sore sudah menjelang, waktunya pulang.


Perjalanan pulang, gue masih bersama motor matic hitam berplat B. Perjalanan kali ini menjadi sedikit lebih menantang mengingat langit mulai beranjak gelap. Tentu saja kami sempat mampir ke masjid untuk sholat Maghrib. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan lagi.

Perjalanan makin menantang lagi karena hari benar-benar sudah gelap. Belom lagi ada sedikit rasa ngantuk karena terpapar semilir angin jalanan, plus kelelahan setelah tadi di pantai. Dengan kondisi kayak gitu, kami masih harus melewati jalanan berkelok naik turun ala Gunung Kidul. Kalo sekarang sih, mungkin gue udah biasa ya sama kondisi kayak gitu. Tapi, dulu itu adalah pengalaman pertama bagi gue, dan mungkin yang lainnya. Waktu itu, gue bertahan dari rasa kantuk dengan terus melanjutkan ghibah bersama penumpang gue.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba Kukun belok ke masjid. Kami mengikuti langkah sang ketua rombongan. Dengan bijaknya, Kukun berkata, “Cuy, gue ngantuk banget.”

Tentu saja itu mewakili persaan sebagian besar dari kami. Kami pun istirahat sekalian sholat Isya. Setelah sholat, istirahat, dan stretching, kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Alhamdulillah, kami semua selamat sampe kosan masing-masing.

Perjalanan tersebut bukanlah kali terakhir gue berinteraksi sama motor Firda. Dalam beberapa kesempatan, gue juga pernah pinjem motor Firda lagi. Sama seperti sesi ghibah dan curhat gue dengan si penumpang, yang masih berlanjut hingga sekarang. Ya ga ;)

Friday, January 18, 2019

Pantai Tolong


Di tengah-tengah kebingungan gimana buat mulai ngerjain proposal, gue malah mlipir nostalgia ke album foto jalan-jalan di grup Astonjog.

Gue jadi tersadar, selama ini gue nggak pernah cerita tentang main bareng Astonic Jogja (Astonjog). Padahal, kalo urusan main, gue paling sering jalan bareng sama mereka. Terus, kalau boleh klaim sepihak, Astonjog sempat menjadi region yang paling sering jalan-jalan (mungkin sampe sekarang masih wkwk). Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya album jalan-jalan di grup. Itu belum termasuk sekian kali kumpul-kumpul atau makan-makan yang tidak terdokumentasikan. Ditambah dengan seringnya anak-anak Astonic region lain yang mampir atau sengaja main ke Jogja. Well, Jogja memang istimewa.

Dari sekian kali jalan-jalan, pantai menjadi salah satu destinasi yang lumayan sering kita kunjungin. Pas masanya sering jalan dulu, dalam satu semester kita bisa main ke pantai sampe dua atau tiga kali. Dan, dari sekian kali main ke pantai, ada satu perjalanan yang menurut gue paling berkesan. Perjalanan yang penuh dengan kebodohan, tapi berbuah kenangan yang sangat manis.

Waktu itu awal Agustus 2016. Kalo ga salah, pas awal masuk kuliah semester tiga. Kita berinisiasi untuk jalan-jalan di awal semester ini. Keinginan tersebut memang terkesan agak kurang terencana. Yang penting hari itu kita harus berangkat, kemana pun. Ada para akhwat, gue, Kukun, dan Azzam. Setelah berdebat panjang di kontrakan akhwat, kita pun memutuskan buat jalan ke air terjun Sri Gethuk di daerah Gunung Kidul.

Kita berangkat sangat telat dari rencana awal. Sebenernya, rencana awal kita berangkat agak pagi, sekitar jam 9 atau 10 pagi. Kenyataannya, kita berangkat setelah dhuhur. Itu pun habis dhuhur kita ga langsung berangkat, masih nunggu-nungguan. Hikmah dari keterlambatan ini adalah bergabungnya Mufid ke dalam geng. Akhirnya, kita berangkat sekitar hampir jam 2 siang. Gue kebagian bawa motor dan ngebonceng Tia.

Di saat sudah dekat dengan destinasi, gue melihat papan petunjuk arah menuju Sri Gethuk. Di situ, tertulis juga jam bukanya mulai jam 8 pagi sampai jam 4 sore. Gue mbatin, ini bukannya udah sore banget ya. Gue bisik-bisik ke Tia, nanya jam. Ternyata udah jam setengah 4 lewat. Wah, bakal bentar banget dong kita di sana. Di tengah keresahan kita berdua, Kukun sebagai pemimpin rombongan di depan pun berhenti.

“Eh, tadi aku lihat plang. Katanya Sri Gethuk tutup jam 4,” kata dia.

Ternyata keresahan yang sama. Kita sempet berunding di pinggir jalan, jadi mau lanjut apa nggak. Sebenernya Sri Gethuk tinggal sepelempar batu lagi, amat sangat dekat. Kita bisa saja sampe ke sana sebelum jam 4. Tapi, tinggal menghitung menit destinasi wisata itu bakal tutup.

Di tengah rundingan, muncul suatu kebodohan yang menjadi awal dari plot twist acara jalan-jalan kali ini.

“Gimana kalo kita ke pantai aja,” sebuah celetukan samar terdengar.
“Gengs, Alma usul. Gimana kalo kita ke pantai aja,” Firda dengan kejamnya mengulang, memperjelas.

Kita semua ketawa. Menganggap itu cuma becanda.

“Tapi pantai kan masih mayan jauh,” ada yang menanggapi, seperti menganggap celetukan itu serius.
“Nggak kok, paling tinggal setengah perjalanan lagi kita sampe pantai.”
“Bentar lagi keburu malem lho.”
“Atau kita ke pantai terus nginep.”
“Tapi kita kan ga persiapan apa-apa.”

Singkat cerita, kita memutuskan buat melanjutkan perjalanan ke pantai. Berawal dari celetukan bodoh yang dianggep becanda, berubah menjadi sebuah opsi yang dibicarakan secara serius. Bahkan jadi keputusan. Gue yakin, semua orang di rombongan ini masih ga percaya kalo kita beneran jadi mau ke pantai. Bahkan, di tengah perjalanan, Tia dengan polosnya masih nanya ke gue, “Rak, ini beneran jadi ke pantai?”

Kita sampai di Pantai Krakal sekitar jam 6 sore. Melihat kondisi yang sudah menjelang gelap kayak gini, kita pun memutuskan buat cari penginapan. Di sektar sini, penginapan yang ada sangatlah sederhana, model bangunan semi permanen. Setelah tawar menawar dengan pemilik warung dan penginapan, akhirnya kita dapat dua kamar di lantai atas seharga 150 ribu.

Sesudah maghriban, kita makan malam. Makan malam kali ini ditemani dengan suara deburan ombak dan siulan angin pantai. Kita makan sambil menertawakan kebodohan kita seharian ini. Tidak ada yang menyangka kalo akhirnya kita bakal terdampar di pantai kayak gini. Setelah makan, kita lanjut bermain werewolf sampai larut malam.

Besok paginya, kami sempat foto-foto di pantai, lalu sarapan, lalu pulang.


Begitulah kisah jalan-jalan terbodoh ala Astonic Jogja. Niatnya mau ke air terjun, malah jadinya ke pantai. Awalnya sama sekali gaada rencana bakal nginep, akhirnya malah bermalam. Belum lagi insiden-insiden kayak kehujanan, kesasar gara-gara gmaps, kesorean, dll. Tapi, siapa peduli? Selama bersama mereka, melakukan hal sebodoh apapun akan terasa menyenangkan :)