Di tengah-tengah kebingungan gimana buat mulai ngerjain
proposal, gue malah
mlipir nostalgia ke album foto jalan-jalan di grup Astonjog.
Gue jadi tersadar, selama ini gue nggak pernah cerita tentang
main bareng Astonic Jogja (Astonjog). Padahal, kalo urusan main, gue paling
sering jalan bareng sama mereka. Terus, kalau boleh klaim sepihak, Astonjog
sempat menjadi region yang paling sering jalan-jalan (mungkin sampe sekarang
masih wkwk). Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya album jalan-jalan di grup. Itu
belum termasuk sekian kali kumpul-kumpul atau makan-makan yang tidak terdokumentasikan.
Ditambah dengan seringnya anak-anak Astonic region lain yang mampir atau
sengaja main ke Jogja. Well, Jogja memang istimewa.
Dari sekian kali jalan-jalan, pantai menjadi salah satu
destinasi yang lumayan sering kita kunjungin. Pas masanya sering jalan dulu, dalam
satu semester kita bisa main ke pantai sampe dua atau tiga kali. Dan, dari
sekian kali main ke pantai, ada satu perjalanan yang menurut gue paling berkesan.
Perjalanan yang penuh dengan kebodohan, tapi berbuah kenangan yang sangat
manis.
Waktu itu awal Agustus 2016. Kalo ga salah, pas awal masuk kuliah
semester tiga. Kita berinisiasi untuk jalan-jalan di awal semester ini. Keinginan
tersebut memang terkesan agak kurang terencana. Yang penting hari itu kita
harus berangkat, kemana pun. Ada para akhwat, gue, Kukun, dan Azzam. Setelah berdebat
panjang di kontrakan akhwat, kita pun memutuskan buat jalan ke air terjun Sri
Gethuk di daerah Gunung Kidul.
Kita berangkat sangat telat dari rencana awal. Sebenernya,
rencana awal kita berangkat agak pagi, sekitar jam 9 atau 10 pagi. Kenyataannya,
kita berangkat setelah dhuhur. Itu pun habis dhuhur kita ga langsung berangkat,
masih nunggu-nungguan. Hikmah dari keterlambatan ini adalah bergabungnya Mufid
ke dalam geng. Akhirnya, kita berangkat sekitar hampir jam 2 siang. Gue kebagian
bawa motor dan ngebonceng Tia.
Di saat sudah dekat dengan destinasi, gue melihat papan
petunjuk arah menuju Sri Gethuk. Di situ, tertulis juga jam bukanya mulai jam 8
pagi sampai jam 4 sore. Gue mbatin, ini bukannya udah sore banget ya. Gue bisik-bisik
ke Tia, nanya jam. Ternyata udah jam setengah 4 lewat. Wah, bakal bentar banget
dong kita di sana. Di tengah keresahan kita berdua, Kukun sebagai pemimpin
rombongan di depan pun berhenti.
“Eh, tadi aku lihat plang. Katanya Sri Gethuk tutup jam 4,”
kata dia.
Ternyata keresahan yang sama. Kita sempet berunding di
pinggir jalan, jadi mau lanjut apa nggak. Sebenernya Sri Gethuk tinggal
sepelempar batu lagi, amat sangat dekat. Kita bisa saja sampe ke sana sebelum
jam 4. Tapi, tinggal menghitung menit destinasi wisata itu bakal tutup.
Di tengah rundingan, muncul suatu kebodohan yang menjadi awal
dari plot twist acara jalan-jalan kali ini.
“Gimana kalo kita ke pantai aja,” sebuah celetukan samar
terdengar.
“Gengs, Alma usul. Gimana
kalo kita ke pantai aja,” Firda dengan kejamnya mengulang, memperjelas.
Kita semua ketawa. Menganggap itu cuma becanda.
“Tapi pantai kan masih mayan jauh,” ada yang menanggapi,
seperti menganggap celetukan itu serius.
“Nggak kok, paling tinggal setengah perjalanan lagi kita
sampe pantai.”
“Bentar lagi keburu malem lho.”
“Atau kita ke pantai terus nginep.”
“Tapi kita kan ga persiapan apa-apa.”
Singkat cerita, kita memutuskan buat melanjutkan perjalanan
ke pantai. Berawal dari celetukan bodoh yang dianggep becanda, berubah
menjadi sebuah opsi yang dibicarakan secara serius. Bahkan jadi keputusan. Gue yakin,
semua orang di rombongan ini masih ga percaya kalo kita beneran jadi mau ke
pantai. Bahkan, di tengah perjalanan, Tia dengan polosnya masih nanya ke gue, “Rak,
ini beneran jadi ke pantai?”
Kita sampai di Pantai Krakal sekitar jam 6 sore. Melihat kondisi
yang sudah menjelang gelap kayak gini, kita pun memutuskan buat cari
penginapan. Di sektar sini, penginapan yang ada sangatlah sederhana, model
bangunan semi permanen. Setelah tawar menawar dengan pemilik warung dan
penginapan, akhirnya kita dapat dua kamar di lantai atas seharga 150 ribu.
Sesudah maghriban, kita makan malam. Makan malam kali ini ditemani
dengan suara deburan ombak dan siulan angin pantai. Kita makan sambil
menertawakan kebodohan kita seharian ini. Tidak ada yang menyangka kalo
akhirnya kita bakal terdampar di pantai kayak gini. Setelah makan, kita lanjut
bermain werewolf sampai larut malam.
Besok paginya, kami sempat foto-foto di pantai, lalu
sarapan, lalu pulang.
Begitulah kisah jalan-jalan terbodoh ala Astonic Jogja. Niatnya
mau ke air terjun, malah jadinya ke pantai. Awalnya sama sekali gaada rencana
bakal nginep, akhirnya malah bermalam. Belum lagi insiden-insiden kayak
kehujanan, kesasar gara-gara gmaps, kesorean, dll. Tapi, siapa peduli? Selama bersama
mereka, melakukan hal sebodoh apapun akan terasa menyenangkan :)
Kebodohan jalan-jalan ini bikin aku ngutang banyak karo koe cuk wkwkw
ReplyDelete