Friday, January 18, 2019

Pantai Tolong


Di tengah-tengah kebingungan gimana buat mulai ngerjain proposal, gue malah mlipir nostalgia ke album foto jalan-jalan di grup Astonjog.

Gue jadi tersadar, selama ini gue nggak pernah cerita tentang main bareng Astonic Jogja (Astonjog). Padahal, kalo urusan main, gue paling sering jalan bareng sama mereka. Terus, kalau boleh klaim sepihak, Astonjog sempat menjadi region yang paling sering jalan-jalan (mungkin sampe sekarang masih wkwk). Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya album jalan-jalan di grup. Itu belum termasuk sekian kali kumpul-kumpul atau makan-makan yang tidak terdokumentasikan. Ditambah dengan seringnya anak-anak Astonic region lain yang mampir atau sengaja main ke Jogja. Well, Jogja memang istimewa.

Dari sekian kali jalan-jalan, pantai menjadi salah satu destinasi yang lumayan sering kita kunjungin. Pas masanya sering jalan dulu, dalam satu semester kita bisa main ke pantai sampe dua atau tiga kali. Dan, dari sekian kali main ke pantai, ada satu perjalanan yang menurut gue paling berkesan. Perjalanan yang penuh dengan kebodohan, tapi berbuah kenangan yang sangat manis.

Waktu itu awal Agustus 2016. Kalo ga salah, pas awal masuk kuliah semester tiga. Kita berinisiasi untuk jalan-jalan di awal semester ini. Keinginan tersebut memang terkesan agak kurang terencana. Yang penting hari itu kita harus berangkat, kemana pun. Ada para akhwat, gue, Kukun, dan Azzam. Setelah berdebat panjang di kontrakan akhwat, kita pun memutuskan buat jalan ke air terjun Sri Gethuk di daerah Gunung Kidul.

Kita berangkat sangat telat dari rencana awal. Sebenernya, rencana awal kita berangkat agak pagi, sekitar jam 9 atau 10 pagi. Kenyataannya, kita berangkat setelah dhuhur. Itu pun habis dhuhur kita ga langsung berangkat, masih nunggu-nungguan. Hikmah dari keterlambatan ini adalah bergabungnya Mufid ke dalam geng. Akhirnya, kita berangkat sekitar hampir jam 2 siang. Gue kebagian bawa motor dan ngebonceng Tia.

Di saat sudah dekat dengan destinasi, gue melihat papan petunjuk arah menuju Sri Gethuk. Di situ, tertulis juga jam bukanya mulai jam 8 pagi sampai jam 4 sore. Gue mbatin, ini bukannya udah sore banget ya. Gue bisik-bisik ke Tia, nanya jam. Ternyata udah jam setengah 4 lewat. Wah, bakal bentar banget dong kita di sana. Di tengah keresahan kita berdua, Kukun sebagai pemimpin rombongan di depan pun berhenti.

“Eh, tadi aku lihat plang. Katanya Sri Gethuk tutup jam 4,” kata dia.

Ternyata keresahan yang sama. Kita sempet berunding di pinggir jalan, jadi mau lanjut apa nggak. Sebenernya Sri Gethuk tinggal sepelempar batu lagi, amat sangat dekat. Kita bisa saja sampe ke sana sebelum jam 4. Tapi, tinggal menghitung menit destinasi wisata itu bakal tutup.

Di tengah rundingan, muncul suatu kebodohan yang menjadi awal dari plot twist acara jalan-jalan kali ini.

“Gimana kalo kita ke pantai aja,” sebuah celetukan samar terdengar.
“Gengs, Alma usul. Gimana kalo kita ke pantai aja,” Firda dengan kejamnya mengulang, memperjelas.

Kita semua ketawa. Menganggap itu cuma becanda.

“Tapi pantai kan masih mayan jauh,” ada yang menanggapi, seperti menganggap celetukan itu serius.
“Nggak kok, paling tinggal setengah perjalanan lagi kita sampe pantai.”
“Bentar lagi keburu malem lho.”
“Atau kita ke pantai terus nginep.”
“Tapi kita kan ga persiapan apa-apa.”

Singkat cerita, kita memutuskan buat melanjutkan perjalanan ke pantai. Berawal dari celetukan bodoh yang dianggep becanda, berubah menjadi sebuah opsi yang dibicarakan secara serius. Bahkan jadi keputusan. Gue yakin, semua orang di rombongan ini masih ga percaya kalo kita beneran jadi mau ke pantai. Bahkan, di tengah perjalanan, Tia dengan polosnya masih nanya ke gue, “Rak, ini beneran jadi ke pantai?”

Kita sampai di Pantai Krakal sekitar jam 6 sore. Melihat kondisi yang sudah menjelang gelap kayak gini, kita pun memutuskan buat cari penginapan. Di sektar sini, penginapan yang ada sangatlah sederhana, model bangunan semi permanen. Setelah tawar menawar dengan pemilik warung dan penginapan, akhirnya kita dapat dua kamar di lantai atas seharga 150 ribu.

Sesudah maghriban, kita makan malam. Makan malam kali ini ditemani dengan suara deburan ombak dan siulan angin pantai. Kita makan sambil menertawakan kebodohan kita seharian ini. Tidak ada yang menyangka kalo akhirnya kita bakal terdampar di pantai kayak gini. Setelah makan, kita lanjut bermain werewolf sampai larut malam.

Besok paginya, kami sempat foto-foto di pantai, lalu sarapan, lalu pulang.


Begitulah kisah jalan-jalan terbodoh ala Astonic Jogja. Niatnya mau ke air terjun, malah jadinya ke pantai. Awalnya sama sekali gaada rencana bakal nginep, akhirnya malah bermalam. Belum lagi insiden-insiden kayak kehujanan, kesasar gara-gara gmaps, kesorean, dll. Tapi, siapa peduli? Selama bersama mereka, melakukan hal sebodoh apapun akan terasa menyenangkan :)

1 comment:

  1. Kebodohan jalan-jalan ini bikin aku ngutang banyak karo koe cuk wkwkw

    ReplyDelete