2 Mei menjadi hari yang bersejarah bagi bangsa ini. Seluruh masyarakat
memperingati Hari Pendidikan Nasional, tak terkecuali di lingkungan kampus Universitas
Gadjah Mada. Pada 2 Mei 2017 ini, gue ikut bergerak bareng Aliansi
Mahasiswa UGM dalam aksi 2 Mei “Mengheningkan Cipta untuk Pendidikan.” Berhubung
gue udah lama banget nggak nulis di blog ini, yaudah cerita ini gue post di
blog ini aja. Selamat membaca!
Jujur aja, awalnya gue agak kurang peduli sama aksi kali
ini. Jangan-jangan, aksi kali ini hanya bertujuan untuk mengulang romantisme
aksi 2 Mei tahun lalu. Jangan-jangan, aksi kali ini cuma digerakkan sama
segelintir orang aja. Gue juga mikir kalo aksinya bakal sepi-sepi aja karena
wacana yang dibangun sangat mepet sekali dengan hari-H. Gue pun nggak banyak mencari
tahu tentang gelaran aksi ini.
Tanggal 1 Mei malem, gue diajak buat dateng teklap aksi sama
temen gue. Awalnya gue males. Tapi lama-lama gue penasaran juga, bakal kayak
apa sih aksi besok? Gue pun langsung gowes ke tempat teklap digelar.
Gue dateng telat, sekitar jam setengah sepuluhan. Ini adalah
teklap terakhir sebelum menggelar aksi. Berhubung gue nggak pernah dateng ke
konsolidasi dan teklap sebelum-sebelumnya, dan nggak pernah baca kajian atau rilis dari lembaga-lembaga yang mengawal, gue jadi nggak tahu apa-apa. Di sana,
gue sedikit tercerdaskan tentang aksi kali ini.
Ternyata, anggapan gue selama ini salah. Salah besar.
Ternyata aksi ini memang digelar untuk memperjuangkan
sesuatu, melawan kedzaliman. Gue makin percaya hal itu, karena ada orang-orang
baik yang gue kenal hadir di teklap itu. Gue lihat tokoh-tokoh kampus kayak Retas,
Alfath, Caca, dan temen-temen gue yang lain kayak Revina, Fawwaz, Tio, dan
lain-lain juga hadir di sana. Tidak hanya hadir, namun juga ikut serta
menggerakkan. Gue merasa malu, kenapa sebelum ini gue nggak berusaha ikut
mengawal isu yang bakal diangkat di 2 Mei ini.
Untuk mengejar ketertinggalan gue, pulang dari teklap (sekitar
jam 12-an malem) gue langsung buka OA Line beberapa lembaga yang ikut mengawal
aksi ini. Gue nanya-nanya ke beberapa temen gue yang gue kira faham dengan isu yang
bakal diangkat dalam aksi ini. Gue juga berusaha untuk menghidupkan wacana aksi
ini di grup-grup komunikasi.
Payah banget lah, masa wacana aksi ini sangat sedikit dibicarakan
di lingkungan komunikasi. Kayaknya memang cuma segelintir kecil anak komunikasi yang peduli sama aksi ini. Tengah
malem gitu, gue langsung ribut di grup-grup, terutama grup PH-Kadiv gue. Mencoba mengajak
temen-temen buat sadar meskipun sebenernya udah telat banget. Di samping itu, gue juga nggak bisa maksain juga sih. Orang memiliki haknya untuk peduli atau tidak terhadap sebuah isu. At least I tried..
Besok paginya, gue berangkat ke kampus sekitar jam 7 pagi. Kampus
belom terlalu rame, hanya ada beberapa anak yang sejak semalem nginep di
Fisipol buat nyiapin banner-banner propaganda. Gue mulai bergabung dengan
orang-orang di taman sansiro. Nggak lama kemudian, massa aksi dari
fakultas-fakultas lain mulai berdatangan meramaikan taman sansiro Fisipol. Sama
kayak tahun lalu, tempat ini jadi titik kumpul massa dari seluruh kluster
soshum dan agro.
Sedikit pemanasan, yel-yel dan orasi, massa pun berangkat ke
arah rektorat. Di sebelah Perpusat, massa kampus sisi timur bertemu dengan
massa aksi dari kampus barat UGM. “Datang
dari barat, datang dari timur, mahasiswa!” Aksi tahun ini memang nggak
serame tahun lalu. Namun, gue rasa jumlah massa yang ada sudah cukup banyak
untuk bisa menekan rektorat.
Sebenernya, gue nggak ikut seluruh rangkaian aksi. Gue bolak-balik
kelas-rektorat-kelas-rektorat karena ada tanggungan akademik yang harus
diselesaikan. Gue sempet ketinggalan beberapa hal substansial kayak pemaparan
kajian dari mahasiswa dan tanggepan dari Prof Iwan sendiri.
Singkat cerita, hari pun menjelang sore. Mahasiswa memberikan
ultimatum, apabila sampai pukul 18.00 seluruh dekan dan rektor belum
menandatangani tuntutan yang diajukan, mahasiswa akan menduduki rektorat malam
ini. Dan begitulah jadinya, ‘Makrab se-UGM Raya’ pun digelar. Say no more, I’m in!
Habis isya, gue cabut dulu ke kontrakan temen gue Ismail
buat nggarap tugas psikom. Sekitar jam setengah sebelas malem, kita balik lagi
ke rektorat. Di sana, gue langsung gabung sama anak-anak yang lagi ngebahas evaluasi
dan bagaimana kelanjutan aksi ini di lapangan rumput balairung.
Gue bisa merasakan betapa syahdunya malam ini. Anak-anak
dengan latar belakang pemikiran dan gerakan yang berbeda saling bahu-membahu,
melepaskan jubah identitas dan kepentingan mereka, demi memperjuangkan
keadilan. Gue hanya bisa takjub melihat mereka, Alfath, Retas, Jalu, Hikari,
Syahdan, Josu, Wikan, Badrul, Ainun, dan lainnya yang belum gue kenal. Mereka saling bersintesis untuk menggerakkan
aksi ini.
Selesai forum, kami menggelar aksi mengheningkan cipta. Mengheningkan
cipta atas perjuangan para pejuang pendidikan. Mengheningkan cipta atas matinya
nurani para birokrat kampus. “Ilmu kami
adalah ilmu yang memiliki keberpihakan. Ilmu kami adalah ilmu perlawanan!”
Setelah mengheningkan cipta, gue sempet ngobrol dan main
kartu sama orang-orang yang baru gue kenal hari itu juga. Anak-anak lainnya ada
yang udah tidur, ada yang nyanyi-nyanyi di lapangan, ada yang nggarap opini dan
propaganda, ada yang baru dateng, ada juga yang internetan. Kata temenku,
internetnya kenceng banget sampe bisa download 300 MB kurang dari semenit!
Nggak lama kemudian, gue pun berangkat tidur di selasar
rektorat. Kebetulan, JMF bawa karpet dari sekre jadi tidurnya nggak di ubin
banget. Beberapa anak lain juga ada yang tidur di lapangan rumput balairung,
ada juga yang masih melek sampai pagi. Subuh pun tiba dan salah satu anak (yang
nggak tidur) ngebangunin kita buat sholat subuh. Kita sholat di mushola
rektorat lantai dua. Keren ga sih, subuh-subuh gini bisa kelayaban di rektorat.
Sekitar jam enam, gue balik ke kontrakan buat mandi dan
lanjut tidur lagi. Hari ini rencananya gue mau ikut seminar anti napza di
Fapet. Pas mau berangkat, gue sempet ngechat Kak Retas menanyakan gimana
kelanjutan aksi ini. Mengetahui dia lagi nongkrong di kantin Fisipol, gue pun
mlipir dulu kesana.
Breakfast ganteng bareng petinggi-petinggi UGM
Setelah sedikit obrolan ringan, gue pun cabut ke Fapet. Dan di
sinilah akhir cerita gue tentang aksi 2 Mei. Untuk gimana kelanjutannya, gue
juga kurang faham karena gue nggak berada di ring dalam aksi ini. Gue hanya
mahasiswa biasa yang bergerak jadi massa aksi, banyak teriak sedikit mikir
hehe. Lah terus, kenapa gue harus ikut aksi kayak gini? Mungkin gue bisa
jelasin dalam tiga poin singkat:
1. Aksi kali ini bertujuan baik
Jujur saja, sebenernya kadang gue bingung kalo diminta
berpihak. Biasanya gue lebih suka ambil jalan tengah, atau berpihak pada ego gue
sendiri. Tapi untuk aksi ini, gue yakin bener, bahwa aksi ini memang
memperjuangkan kebaikan. Menyuarakan aspirasi mereka yang harusnya disuarakan,
menekan kedzaliman. Gue sempet ngobrol dengan salah satu pegawai UGM, “Pejabat
emang harus didemo mas. Kalo nggak, suara kita nggak bakal didenger. Tukin saya
saja belum dibayar sejak demo tahun lalu.” So, nggak ada kata lagi selain
LAWAN!
2. Aksi massa butuh massa aksi
Mengetahui aksi ini memiliki tujuan baik, sudah cukup
membuat gue untuk ikut bergerak di sana. Gue sadar betul bahwa aksi ini membutuhkan
massa untuk menekan. Dan gue faham betul, sudah banyak kawan-kawan se-antero
UGM yang mampu mengorganisasikan aksi ini. Sama kayak tahun lalu, kali ini gue kembali
memposisikan diri gue sebagai massa aksi, banyak teriak sedikit mikir hehe.
3. Gue memang menikmatinya
Maaf kalo kesannya egois banget, tapi sebenernya
inilah yang menjadi alasan utama gue gabung sama gerakan ini. Gue memang
menikmatinya. Jujur saja, gue bukan orang yang mudah tertarik ikut-ikutan aksi kalo
nggak ada ‘rasa kedekatan’ dengan gue. Namun di sini, gue tahu betul apa yang
diperjuangkan, gue merasa dekat dengan apa yang diperjuangkan. Gue pun
menikmati segala gerak dan teriak dalam aksi ini. Rasanya tak jauh beda dengan
tahun lalu.
Sekian? Sekian. Mari kita tegangkan!