“There are two ways to make history : write some words
and/or take some picture”
Setelah selama setahun ini kembali berkegiatan dalam dunia
jurnalistik, tiba-tiba aja gua kepikiran kata-kata di atas. Apalagi selama
kelas XI kemaren, gua lumayan sering ngobrol sama seorang guru sejarah. Nampaknya
ada yang menyambungkan antara keduanya, yang menghasilkan kata-kata tersebut. Ada
dua cara untuk membuat sejarah : tulislah kata dan/atau ambillah gambar (foto).
Menulis dan mengambil gambar, keduanya bisa kita ringkes jadi sebuah nama
kegiatan : dokumentasi. Ternyata, dunia jurnalistik emang sangat berpengaruh
dalam “pembuatan” sejarah itu sendiri.
Pas gua share kata-kata itu ke sosmed, ada beberapa temen
yang “protes”; Kan nggak cuma dua itu doang rak; Take action juga bisa kali. Ya,
itu juga bener kok. Tapi, yang gitu-gitu kebetulan agak kurang relevan sama apa yang
gua maksud.
Mari kita tilik secuil aja sejarah kemerdekaan Indonesia,
pas yang bagian detik-detik proklamasi kemerdekaannya aja deh. Ketika itu,
semua usaha udah dikerahkan demi terlaksananya proklamasi kemerdekaan Indonesia
yang sakral itu. Penculikan Soekarno untuk mengamankannya dari pengaruh Jepang,
begadang bikin teks proklamasi, muter-muter di jalan raya demi menghindari pasukan
Jepang yang berjaga di mana-mana, hingga sampai di tempat pembacaan proklamasi,
halaman rumah Soekarno. Pembacaan proklamasi kemerdekaan pun dilaksanakan,
dilanjutkan upacara pengibaran bendera.
Bayangin, gimana kalo nggak ada seorang pun yang menuliskan
alur kejadian selama peristiwa tersebut berlangsung. Gak yakin cerita tentang
detik-detik proklamasi itu sampe kepada kita sekarang. Bayangin, gimana kalo
saat itu gak ada yang motoin Soekarno pas lagi baca teks proklamasi, atau
motoin pas lagi upacara benderanya. Gak yakin kita sekarang bisa ngebayangin
gimana suasana yang sebenernya saat itu. Intinya, sebenernya dokumentasilah yang mengantarkan sejarah itu pada kita. Yang membuat sejarah itu menjadi sejarah bagi kita.
Sebenernya, quotes
yang gua sebut di atas tadi juga mewakili perasaan dan ekspektasi gua pas dulu
bikin blog ini. Pemikiran itu juga yang terus memotivasi gua buat rajin ngisi
jurnal pribadi (baca : diary) gua. Dan walaupun gua nggak punya kamera, gua
selalu berusaha buat minta foto-foto kegiatan sama anak yang berkamera. Untungnya
jadi divisi jurnalistik, gua jadi punya akses khusus sama hard disk OSIS yang
isinya foto-foto kegiatan \m/
Tapi, kenapa harus nulis? Kenapa harus poto?
Mengingat adalah salah satu kelemahan manusia, bro
(khususnya gua). Manusia nggak bisa mengingat semua hal. Manusia bisa jadi lupa akan apa yang
dilakukannya di masa silam.
So, sama sekali gak rugi kalo kita mulai mendokumentasikan
apa yang kita alami saat ini. Khusus buat cowok nih, gak usah gengsi kali kalo
punya diary. Kan diary isinya nggak harus curhatan-curhatan galau. Karena dengan
tulisan dan gambar, kita bisa menceritakan dengan nyata kepada generasi penerus
kita tentang apa yang pernah kita kerjakan di masa silam, untuk dijadikan
pelajaran hidup bagi mereka.
No comments:
Post a Comment